DAUN
Warsoadhi – Februari
‘22
Siapapun pasti sudah kenal dengan bagian tanaman yang bernama daun, bahkan ada beberapa orang yang, dengan sekilas melihat bagian tanaman ini sudah mampu menyebutkan nama tanaman yang bersangkutan, berikut, specicies, ordo, familia dan seterusnya. Daun berfungsi sebagai pabrik penghasil makanan bagi seluruh bagian tanaman, yang berasal zat hara dan air yang diserap akar, kemudian dengan bantuan sinar matahari, teradi proses fotosintesa menghasilkan enerji dengan oxygen sebagai sampah buangan. Jadi didalam selembar daun yang sedemikian tipis, terjadi kegiatan produksi makanan yang dengan kompleksitas yang luarbiasa, barangkali setara dengan pabrik makanan kelas multinasional buatan manusia. Didalamnya terjadi rantai produksi, mulai pengumpulan bahan baku, proses produksi dan penyerahan bahan jadi untuk didistribusikan keseluruh bagian tanaman.
Keseluruhan proses tersebut dapat berlangsung tak lain tak bukan karena adanya komponen yang sangat vital yang terkandung pada selembar daun, yaitu Chlorophyll, atau dalam istilah Bahasa Indonesia Klorofil atau Zat hijau daun. Klorofil sendiri berasal dari kata Khloros, yang berarti hijau muda dan phyllon yang berarti daun, dan diketemukan oleh dua orang ahli farmasi Perancis Joseph Bienalme Caventau dan Piere Joseph Pelletier pada tahun 1817. Kloropil merupakan molekul senyawa Carbon Kompleks dengan ikatan Hidrogen, Oksigen, Nitrogen dan Magnesium, (C55H70O6N4Mg), dengan komposisi yang demikian, si kloropil dapat menyerap secara efektif seluruh sektrum cahaya matahari dari infra merah sampai ultra violet dan memantulkan cahaya hijau kekuningan, sehingga tidak mengherankan kalau sebagian besar dedaunan berwarna hijau, seperti asal kata klorofi tadi..
Si mungil ini dengan ukuran berkisar 500 NM (Nannometer), dimana 1 nano meter adalah 10-6 mm (seper sejuta millimeter), ternyata memegang peranan yang sangat vital sejak awal proses evolusi kehidupan dibumi, dan sudah muncul pada awal kehidupan dibumi sekitar 3 Milyard tahun lalu dan sudah bertenger di ganggang merah (rhoedopeceae). Memang alam semesta ini penuh dengan kontradiksi dalam ukuran, mulai dari yang sangat mungil dalam ordo nano, bahkan angstroom, sampai pada ukuran supra gigantis astronomis seperti halnya ukuran galaksi dalam ordo tahun cahaya.akan tetapi kesemuanya melebur, menyatu dalam harmoni- simfoni kosmos yang sungguh mengesankan.
Bukankah Sir Isac Newton berujar " NUMERO PUNDERE ET MENSURA DEUS OMNIA CONDIDIT "
Tuhan mencipta segala sesuatu berdasar angka, berat dan ukuran. (yang tepat).
Kemampuan si renik kloropil mengolah hidrokarbon menjadi nutrisi yang menjadi enerji bagi tanaman unruk berkembang biak, dan membuang oksigen sebagai limbah produksi, melalui rentang waktu geolgis/astronomis dan dalam jumlah yang massif gigantis, turut berperan serta membentuk kompossi atmosfir bumi seperti sekarang ini, yang didominasi gas nitrogen 78%, oksiden 20%, dan sisanya berbagai macam gas lainnya. Dan dengan komposisi tersebut, ternyata mendukung perkembangan evolusi kehidupan dibumi menuju biota yang lebih kompleks. Kerusakan pada vegetasi dalam jumlah yang besar dan kurun waktu lama akan berpengaruh kepada komposisi gas atmosfir bumi, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup bermilyar biota di bumi. Kesehatan vegetasi, apakah itu pepohonan, semak belukar, bahkan rerumputan atau lumut bisa dilihat dari dedaunannya, ia dapat menjadi miniatur keseimbangan ekologis, karena kemampuannya mengatur suhu. kelembaban udara serta keteduhan (shadowing) linkungan disekitarnya, sehingga memungkinkan menjadi habitat bagi biota lain memanfaatkan keberadaan nya.
Kesadaran akan pentingnya vegetasi bagi kelangsungan hidup dibumi, sudah lama tertanam dalam akal budi pepunden , nenek moyang homo sapien Maka tak mengherankan kalau banyak kelompok etnis memuliakan dan menghormati vegetasi khususnya pepohonan dalam kebudayaan mereka, yang sejatinya adalah cerminan rasa hormat kepada sang cikal bakal kehidupan. Sikap ini mereka wujudkan dalam tradisi , adat istadat dalam keseharian hidup, melalui berbagai ritual dan pantangan, manakala berhubungan dengan upaya merubah lingkungan alami, misalnya membyka lahan, penebangan pohon, bahkan sekedar menggeser bebatuan dan sebagainya. Tapi banyak pihak yang terburu nafsu menjatuhkan vonis sebagai tindakan tidak efisien, bahkan menyebutnya bid’ah, padahal itu sebagian dari kearif lokal (local wisdom) yang telah dijalani selama bergenerasi, yang selayaknya kita hormati bersama.. Ternyata dibalik ritual tersebut, terkandung pesan bijak, agar pengrusakan lingkunagn alami secara semena mena dapat dihindarkan . Didalam dunia pewayangan, setiap awal episode (lakon), selalu diawali dengan istilah tancep kayon yaitu kemunculan figur gunungan, yang tidak bisa lepas dari hadirnya aneka motif pepohonan dan hewan yang merupakan gambaran keharmonisan alam semesta (kosmos). Begitu pula pada dinding candi, tidak terkira banyaknya relief dengan motif aneka dedaunan, yang oleh para ahli dapat di identifikasi dari tanaman apa dedaunan tersebut berasal. Penghargaan terhadap pemerhati lingkungan juga dilambangkan berupa pohon kalpataru , dari Bahasa Sansekerta kalpavriksha (pohon kehidupan).
Lenyapnya satu batang pohon, berarti tidak terhitung berapa juta klorpil dengan stoamata (mulut dahun) ikut raib, padahal merekalh yang dengan aktif menghirup carbon dioksda (CO2), dan menghembuskan oksigen sebagai limbah produksi, dan itu berlangsung sepanjang sejarah kehidupan dimuka bumi ini. Dapat dibayangkan, akibat menghilangnya hutan belantara, seperti yang terjadi saat ini, sampai bumi dinyatakan dalam status demam, karena suhu tubuhnya yang senantiasa meningkat.Bagaimanapun juga selama manusia dan biota hewaniah lain masih membutuhkan O2 (Oksigen), untuk kelangsungan hidupnya, mau tidak mau harus menjaga kesehatan vegetasi lewat dedaunannya, dan boleh dikata, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penghuni bumi yang bernama manusia, termasuk pembaca. Ini dilakukan antara lain dengan upaya menurunkan suhu bumi, upaya yang tampaknya sederhana, ternyata dalam skala global, merupakan pelerjaan raksasa yang membutuhkan komitmen segenap anak cucu homosapien yang berjumlah 7 milyard ini. Karena dibalik komitmen tersebut, tersimpan konsekuensi besar, dapat dikatakan sebagai suatu revolusi ekonomi dan industri, karena akan berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan. Dan nampaknya tidak ada titik balik dalam perjalanan sejarah manusia, harus diambil keputusan yang bijak, apapun yang kita putuskan dan kita lakukan saat ini, anak cucu kita yang akan menuai hasilnya atau merasakan akibatnya dikemudian hari.
Bukankah . " UT SEMENTEM FECERIS, ITA METES"
Apa yang anda tanam itulah akan dipanen.
Sifat pohon yang dermawan, mengayomi, memberi keteduhan, kesejukan serta perlindungan bagi kehidupan lain, memberikan inspirasi dan diadopsi sebagai filosofi berbagai peguyuban dalam menjalankan misinya, Lahirnya sebuah paguyuban diharapkan layaknya seperti pohon, memberikan keteduhan, kesejukan bagi lingkungan sekitar. Sehingga kalau terjadi kehadiran suatu paguyuban, malah menimbulkan keresahan, kecemasan, ketakutan, kejengkekan bagi lingkungan sekitarnya, pasti ada yang tidak benar dengan tata kelola paguyuban tersebut. Keberadaan paguyuban ini, bak sebatang pohon yang angker, penuh dihuni dedemit, hantu, kuntilanak dan sejenisnya, dan untuk menangkal pengaruh negatif bagi lingkungan sekitar, harus dilakukan ritual (Jawa diruwat ) misalnya dengan pembakaran kemenyan pada saat2 tertentu, menyembelih ayam putih yang masih perawan, (untuk urusan yang satu ini, tidak perlu khawatir, akan ada institusi yang menerbitkan sertifikat perawan dan sudah barang tentu halal) . Kalau upaya demi upaya toh tidak berhasil, terpaksa diambil langhkah drastis,,, pohon angker tersebut harus ditebang!!!
Begitu pula halnya dengan paguyuban tadi, harus dilakukan ritual, semisal dengan meninjau kembali terhadap tujuan dan azas pendirian yang barangkali kurang membumi, atau ada ketentuan lain yang tidak saling terkait atau bertentangan, atau bisa juga ada yang tidak beres dengan tata kelola sehingga harus dilakukan penggantian pawang dan upaya lain. Kalau dengan segala upaya, toh tidak berhasil, ya terpaksa ditebang seperti halnya pohon angker diatas. Pada situasi seperti itu, biasanya akan timbul sedikit kegaduhan, karena akan ada pihak yang diuntungkan, berkesempatan mengambil posisi strategis, maka masih terkait dengan daun, munculah istilah sedang naik daun , momen seperti ini juga bisa terjadi pada berbagai komunitas atau paguyubaban.
Namun dipihak lain, yang merasa dirugikan, tidak akan berdiam diri, yang bersangkutan akan menyatakan dirinya sebagai korban, atau istilah yang lebih afdol, dirinya telah di “dhzolimi”, untuk menarik simpati dan dukungan, dan biasanya akan menanam pohon baru (membentuk paguyuban tandingan} dengan embel nama dibelakang semisal baru, perjuangan, perkasa, dan lain2, tergantung istilah yang sedang digemari saat itu.
Dan pada akhirnya, pohon2 paguyuban tersebut harus berbenah diri, agar kembali menjadi pohon sejati, memberikan perlindungan dan manfaat bagi biota disekitarnya, bukan sebagai pohon angker yang dihuni mahluk dari dunia lain, yang tidak kita kenal , yang ulahnya cuma bikin resah saja.